Monday, December 05, 2011

PERSAHABATAN

Malam ini kembali kami ditinggal  oleh anak-anak yang menginap di tempat temannya, putra seorang dokter spesialis terkemuka yang tinggal di sebuah kompleks perumahan elite  ‘one gate society’ dengan sistem keamanan tingkat tinggi .  Anak saya keduanya lelaki, meski masih di usia pra-remaja, saya cukup maklum dengan jenis kegiatan inap-menginap seperti itu. Saya juga bisa memahami antusiasme mereka dengan ‘petualangan kecil-kecilan’ dimana mereka beraktivitas secara intens dalam dunia persahabatan antar anak seusianya. Saya bahkan cenderung menyukai munculnya kepercayaan dari batin saya bahwa mereka akan baik-baik saja. Disisi lain, saya dapat menerima perilaku bad mood dari ibu mereka selama 24 jam setelahnya yang 99% tidak rela anak-anaknya berada sejenak diluar supervisi-nya (padahal mungkin anak-anaknya sedang berteriak “Merdeka” dengan semangat 45, hehehe )
Dulu (duluuuuu sekali), ketika saya masih berumur 9-10 tahun.  Zaman dimana uang Rp 5 berlogo Keluarga Berencana masih bisa beli dua potong es Mambo, zaman kaleng Corned Beef bergambar kepala sapi merupakan barang langka di meja makan kami – hingga jika menjadikannya lauk hanya  untuk sekali makan saja membuat kami sekeluarga merasa berdosa. Zaman dimana kemiskinan tak pernah dikeluhkan karena pada dasarnya kami semua betul-betul miskin sehingga tak seorangpun bisa melakukan apa-apa selain bersyukur bahwa kami semua masih bernafas. Zaman dimana saya masih dapat mengingat dengan sangat jelas, bahwa persahabatan diantara anak-anak ala Tom Sawyer & Huckleberry Finn benar-benar ada di dunia nyata. Penuh imajinasi, petualangan, dan kemurnian ikatan batin yang sangat kental, bahkan kadangkala mengalahkan hubungan persaudaraan.
Pada setiap fase masa kanak-kanak, sejak balita kemudian usia sekolah, lalu mulai menginjak remaja, remaja dan kemudian menjadi dewasa, kita pasti menemukan berbagai jenis persahabatan. Tak akan bisa dipungkiri bahwa persahabatan di usia anak-anak sampai remaja adalah jenis persahabatan yang paling murni. Tanpa kepentingan, tanpa praduga, high enthusiasm, dan penuh ketulusan. Kita tak memilih latar belakang seseorang , apalagi sampai menerapkan pre-screening atau fit and proper test dalam menjalin persahabatan seperti itu. Menjalani menit demi menit kebersamaan tidak hanya berlandaskan kegembiraan , namun juga penuh toleransi dan solidaritas saat salah satu dari kita disakiti atau diganggu. Sahabat saya, Uwi dan Udi (kebetulan kakak-beradik) pernah membela saya berkelahi di lapangan bola saat seorang preman kecil bernama Asmaun mencoba memalak saya, sampai  si Asmaun terkaing-kaing masuk dalam got setelah dapat bogem mentah bertubi-tubi dari kedua sahabat masa kecil saya itu, padahal mereka – sama seperti saya, tak pandai berkelahi.
Persahabatan di usia remaja juga tak kalah mengasyikkan, kegemaran saya akan musik membawa saya dalam berbagai lingkungan musisi yang sebagian besar diantaranya  masih secara intens bermusik sampai hari ini. Musik pula-lah yang menyelamatkan saya dari ancaman putus kuliah, bahaya kelaparan, dan rasa frustasi karena kehidupan pra dewasa saya di tahun 90-an tak kunjung membaik. Persahabatan juga yang pelan-pelan menyadarkan dan membimbing saya keluar dari jerat kehidupan malam yang gemerlap, bergelimang uang dan kenikmatan sesaat, tapi penuh kepalsuan.
Saya percaya, sebuah persahabatan yang dirangkai dengan ketulusan, kejujuran, saling menghargai perbedaan, dan keikhlasan untuk selalu ada disaat sahabat kita sengsara – merupakan jenis persahabatan yang tak lekang oleh waktu.
Teruslah bersahabat dengan kehidupan, saya sangat percaya dengan kehebatan persahabatan.

Tulisan ini kudedikasikan untuk para sahabat terbaikku sepanjang zaman :
Uwi, Udi, Erdy Bob, Ambak, Upay, Utam, Yan Firman  , Pani, Isnani, Roni, Abdi, Ruwanto, Hai Shang, Alm. Agus Risman (Riris), Illiyin, Lukman, Amah (Rah Askobar), Hendra Mulia, Riza Dohong, Alm Benny, Oyan, Abang Gani, , Drg Harmadji., dan Benny Rony

Tuesday, October 25, 2011

WRITER'S BLOCK

 (25 Oktober 2011)

00.05
Berjam-jam saya memandangi layar kosong dan tak mampu berpikir apa yang akan ditulis malam ini. Ada kehendak menulis yang membuncah mengingat galaunya perasaan  akibat rentetan situasi yang tidak menyenangkan beberapa hari belakangan .  Membicarakannya secara lisan menurut saya tidak banyak membantu, karena satu-satunya bantuan yang mungkin diperlukan dari orang lain dalam hal ini hanya “mendengarkan” saja. Hmm....
Saya bukan orang yang mudah panik, emosional mungkin iya... tapi panik? No way.  Hari kemarin sudah berlalu dan tak ada yang perlu disesali berlarut-larut. Hari esok tak perlu dicemaskan karena  schedule apapun yang kita susun, besok belum tentu terjadi seperti yang kita duga.  Dinamika sesungguhnya adalah hari ini. Dan kenyataannya, hari ini, malam ini, saya kehilangan cahaya pemandu tentang apa yang harus ditulis. Itulah masalahnya. Writer’s Block, demikian kata keren-nya.
Saya jadi teringat Anna Quindlin – seorang penulis, yang mengatakan : “People have writer’s block not because they can’t write, but because they despair of writing eloquently.” Turn the critical brain off. There is a time and place for criticism: it’s called editing. Oh.... jadi mestinya tuliskan saja apapun yang anda mau, jangan hiraukan dorongan  alamiah dari otak untuk mengkritik apapun yang tengah ditulis, dan biarkan semuanya mengalir karena akan ada waktu dan tempat untuk menyuntingnya di sesi terakhir.  Aha!
Semenit kemudian, blank lagi.....  Sambil tersenyum kecut, saya save to draft dulu tulisan ini, dan mengintip situs jejaring sosial Facebook. Mencari inspirasi.

01.10
Ternyata isi beranda FB dipenuhi oleh status-status estede tentang perut lapar di tengah malam serta berbagai status para pengidap insomnia yang mengaku tak bisa tidur. Ya iya lah.... gimana mau tidur kalo lagi rame main FB? Hmm.... kembali ke laptop.

01.20
Saya menyukai kegiatan menulis, kangen dengan prosesnya, dan sering terkejut dengan hasilnya. Saya menyadari belum pernah mengarang tulisan atau cerita panjang, menyadur kata-kata Anna Quindlin diatas – saya ternyata terlalu kritis. Kritis dengan bahasa yang digunakan, kritis akan kata-kata yang dipilih, kritis terhadap ketikan yang salah, kritis pada kondisi dimana kita terjerembab pada ide awal yang tak berkembang, terpeleset dan kehilangan arah cerita, bahkan sekedar ketepatan penempatan spasi dan paragraf.  Saya belum terlatih untuk mengabaikan hal-hal mendasar yang dipelajari di bangku Sekolah Dasar.

01.40
Kembali blank.
Sudahlah, toh saya bukan seorang penulis betulan. Tidur sepertinya akan lebih menyenangkan.

Saturday, October 22, 2011

KOPI ISENG

22 Oktober 2011

Sungguh dahsyat pengaruh secangkir kopi Mandailing dalam merusak tatanan jam tidur seseorang, setidaknya bagi saya yang masih berjuang untuk memejamkan mata dengan niat yang tulus untuk menyelinap dari dunia kesadaran. Sia-sia!
Setelah dipikir-pikir, tak jelas juga apa maksud saya menyeduh kopi menjelang tengah malam tadi yang akhirnya berakibat fatal bagi siklus tidur dinihari ini. Hanya saja ada semacam kerinduan aneh untuk membaui aromanya yang memikat, sekaligus penasaran memandang penampakannya pada saat bersenyawa dengan air mendidih lalu tiba-tiba melahirkan lapisan buih berwarna putih kecoklatan dipermukaan gelas. Setelah mengaduknya dengan sesendok gula dan diseruput pelan- pelan. Apakah sedemikian nikmat? Ah, nggak juga.... Menghilangkan haus dahaga? Jelas tidak..... Lalu kenapa minum kopi? Nah itu dia.....
Manusia memang sering iseng. Mungkin karena terlanjur lahir dengan aliran sungai kreatifitas yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan tak selalu dapat menemukan saluran yang benar, ia mengalir ke parit keisengan itu. Kebiasaan merokok, minum kopi, dan begadang saban malam adalah contoh nyata dari keisengan tadi. Sebagaimana hukum alam, semua aliran sungai menuju ke laut, begitu pula keisengan . Contoh-contoh keisengan tengah malam yang tidak jelas juntrungannya itu pada akhirnya akan mengalir ke samudera masalah – terutama kesehatan. Bagaimana jika tiba-tiba jantung kita secara iseng-iseng mogok berdenyut?
Saya memutuskan untuk tetap minum kopi, tapi bukan karena iseng. Saya menyukainya.

Sunday, September 11, 2011

Penggunaan kata AIN'T, WANNA, GONNA, dan GOTTA dalam percakapan bahasa Inggris

Teman-teman,

Ain’t, wanna, gonna, dan gotta sering digunakan dalam bahasa Inggris informal. Dulu kata-kata tersebut tidak digunakan dalam bahasa tulis atau percakapan formal, namun sekarang? Fakta membuktikan bahwa penggunaannya sangat luas. Apalagi dalam lirik lagu dan dialog film.... wuih, berhamburan. Masalahnya, guru bahasa Inggris kita di sekolah dulu biasanya hanya mengajarkan struktur bahasa formal dan lupa bahwa bentuk komunikasi seperti bahasa informal (pasaran) ataupun bahasa 'slank' juga menjadi bagian dari sistem komunikasi lisan maupun tulisan modern. Ditambah dengan kemalasan kita untuk mencari tahu, lengkaplah sudah ketidaktahuan kita itu. Berikut penjelasan sederhana tentang penggunaan kata AIN'T, WANNA, GONNA, dan GOTTA dalam percakapan bahasa Inggris, semoga bisa membantu teman-teman semua.

Ain’t = Singkatan dari am not,juga digunakan sebagai singkatan Is not, are not, have not, has not.

Contoh : He ain’t had a friend since He made mistake (Dia sudah tidak memiliki teman semenjak dia membuat kesalahan)

Wanna = Singkatan “Want to” yang artinya “Ingin” dan “Want a” yang artinya “Ingin satu/ sebuah”

Bentuk negatifnya adalah Doesn’t wanna atau don’t wanna

Contoh:

I wanna see him again (Saya ingin melihat dia lagi)

I don’t wanna see him again (Saya tidak ingin melihat dia lagi)

I wanna glass of orange juice (Saya ingin segelas orange jus)

I don’t wanna glass of orange juice (Saya tidak ingin segelas orange jus)

Gonna = Singkatan dari “Going to” yang artinya “Akan”

Contoh :

I am gonna continue my study next year (Saya akan melanjutkan pendidikan saya tahun depan)

I ain’t gonna continue my study next year (Saya tidak akan melanjutkan pendidikan saya tahun depan)

Gotta = Singkatan dari “Got to” yang artinya “Harus”

Contoh :

I gotta finish my study this year (Saya harus menyelesaikan pendidikan saya tahun ini)

I gotta study hard to get satisfied mark and finish my study as fast as possible

Contoh penggunaan ain’t, wanna, gonna, dan gotta dalam bahasa tulisan (informal):

Dear Nick

I write this letter coz I wanna tell you about my feeling. Actually I don’t wanna let you go but it has happened, You has left me.

I know it has been too late to tell you about it. I know that I ain’t a perfect woman for you. However If you give me one more chance, I’m gonna try to be a best one for you. I ain’t gonna do same mistake again. I am gonna do everything just for you. I just wanna spend all my time with you. I ain’t gonna live without you.

You gotta know that I really love you. You sweep of my feet. Please come back dear.

Someone who always loves You


Annabelle Corleone

Nah, teman-teman ..... semoga bermanfaat.

Thursday, August 18, 2011

Life Potion No 9

(18 Aug 2011)

“Write what you know”, kata Erin Gruwell dalam salah satu dialog film Freedom Writers. Tulislah apa yang kamu ketahui. Sepertinya sederhana, namun sesungguhnya kata-kata itu sakti mandraguna. Menulis, sebagaimana pula keterampilan bertutur – tak pelak lagi – merupakan pengejawantahan kreativitas imajinatif yang berbasis pada pengalaman dan referensi. Hanya sedikit anak sekolah yang tak mengalami masalah dalam pelajaran Bahasa Indonesia khususnya pada sesi mengarang.  By the way, sebelum anda bertanya-tanya, saya perlu jelaskan didepan bahwa tulisan saya ini bukan soal teknik tulis menulis, karena saya juga tak begitu paham tentang itu.
Kreativitas imajinatif berbasis pengalaman dan referensi? Ah, Iqbal…. teori  doang! – demikian komentar salah satu teman saya waktu kami masih duduk di SMA kelas 2. Bukannya mengarang itu soal bakat? Saya cuma senyum-senyum aja waktu menerima comment darinya. Maklum, yang ia baca sehari-hari hanya buku paket Fisika, Kimia, dan Matematika, tak heran ia pasti tak tahu apa-apa tentang merangkai kata-kata. Sangat beda dengan saya yang mampu melahap buku Kho Ping Hoo sebanyak 40 jilid dalam  sehari semalam (Hehehe…..).  Itulah yang membuat saya terkaget-kaget saat mendengar kabar teman saya itu secara sekonyong-konyong kemudian menjadi politisi, dan berujung pada kesuksesannya menduduki kursi Kepala Daerah di salah satu Kabupaten baru hasil pemekaran. Mengejutkan, fantastic, entahlah, hidup kadang memang menjadi sangat tak terduga.
Percayalah, faktor bakat itu memang ada. Tapi menurut saya  ia bukan unsur terpenting yang menentukan bagi keberhasilan seseorang. Coba lihat disekeliling kita, atau coba ingat-ingat teman-teman kita semasa kecil. Pasti banyak diantara mereka yang memiliki bakat-bakat khusus seperti olahraga , seni, atau keterampilan tertentu. Lalu coba perhatikan lagi, berapa banyak diantara mereka yang dengan tekun mengikuti panggilan alam dari talenta yang dimilikinya dan berhasil di bidang itu? Saya yakin, bisa dihitung dengan jari. Dalam banyak kasus,  talenta seperti itu lebih sering terbuang sia-sia.
Di masa remaja sampai menjelang dewasa, saya mencurahkan sebagian besar waktu untuk mengasah talenta seni yang saya miliki dan memanfaatkannya sebagai mata pencaharian. Sampai pada satu titik dimana saya memutuskan untuk tidak lagi menjadikannya sandaran hidup – mengingat ternyata mudharatnya jauh lebih besar dari manfaatnya bagi kehidupan saya. Alih-alih berkarier di bidang musik, saya memilih untuk menjadikannya hobby semata, sekaligus tempat berlari dari kejenuhan rutinitas karir lain yang saya tekuni sampai saat ini.
Lalu, kemanakah sebenarnya alur tulisan ini akan berujung? Hmmm….. begini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa jangan terlalu mengandalkan hidup anda pada bakat semata. Bakat itu sesungguhnya hanya sebuah ramuan hidup bernomor 9. Hidup pemberian Tuhan ini penuh dinamika tak terduga, ramuannya banyak sekali. Bakat adalah salah satu bekal keberuntungan yang menyertai kelahiran anda.  Dan kita semua pasti maklum, bahwa keberuntungan dalam bentuk apapun tidak memiliki sifat kekekalan. Jika anda cerdas, berbakat, atau memiliki paras elok – anda mungkin beruntung karena tidak perlu berusaha terlalu keras untuk mendapatkan apa yang anda inginkan.  Kehidupan ini sangat dinamis, hanya manusia yang sadar bahwa ia berada dalam dinamika saja yang akan mampu bertahan.   Perbanyak pengalaman dari berbagai sisi , baik atau buruknya. Perluas khazanah pengetahuan dengan tak pernah berhenti belajar. Jadilah manusia yang kuat, cerdik dan berhati baik, yakinlah bahwa kehidupan sekeras apapun akan lembut di tangan anda.

Wednesday, August 10, 2011

Pride vs Dignity

(10 Aug 2011)

Dari kamus Merriam-Webster, pengertian ‘Pride’ alias harga diri ternyata adalah semacam kebanggaan atau  rasa senang yang muncul karena kepemilikan/ tindakan/ perbuatan . Sedangkan ‘Dignity’  atau martabat  berarti sebuah keadaan atau kualitas yang layak dihormati/ terhormat.

Manusia pada umumnya memiliki pengendalian diri yang sangat kuat dalam hal mengekspresikan kondisi batiniahnya, sehingga perbedaan Pride dengan Dignity itu menjadi tak begitu jelas. Saking kaburnya batasan antara keduanya , saya yakin bahwa kita sendiri terkadang tak bisa membedakan saat kita berada dalam situasi yang inheren dengan pengertian tersebut.

Nelson Mandela, pejuang hebat kemanusiaan dan pemimpin Afrika Selatan pernah ditanya oleh wartawan, “ Madiba (panggilan akrab Mandela), mengapa anda begitu kuat selama puluhan tahun di Penjara dan tak pernah berhenti berjuang untuk menghapus apartheid dari Afrika Selatan, kemudian saat anda bebas dan menjadi pemimpin anda tidak berfikir untuk membalas dendam? Padahal anda disiksa, dilecehkan, dan hampir semua yang anda miliki direnggut? Apakah harga diri anda tidak terganggu dengan itu semua?”.
Mandela hanya tersenyum dan berkata “I am the captain of my soul, commander of my destiny, and a master of my dignity”.

Salah satu bagian dari lirik lagu Greatest Love of All (George Benson) berbunyi: “No matter what they take from me, they can’t take away my dignity” , menurut saya memperjelas batasan diantara keduanya. Saat orang lain memperlakukan kita dengan buruk, merendahkan, atau mengambil sesuatu yang harusnya menjadi hak kita, sesungguhnya yang terusik itu adalah harga diri – dan bukan martabat kita. Martabat itu sesuatu yang melekat karena pembawaan kepribadian atau karakter dasar manusia. Sedangkan harga diri, an sich hanyalah berupa respons atas gangguan terhadap garis-garis batas dari martabat itu yang sebenarnya secara sadar atau tidak – kita buat untuk dan atas dasar kesenangan kita sendiri.

Kita, sebagaimana Mandela, adalah makhluk Tuhan dengan derajat tertinggi di muka bumi ini. Dan semua manusia dilahirkan secara bermartabat - setidaknya bagi diri sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk memilih respons apa yang harus diambil saat harga diri kita terusik, namun respons itu tidak selayaknya mengurangi martabat yang kita miliki.

Kawan-kawan, kita semua masing-masing adalah sang kapten bagi jiwa kita, komandan dari takdir kita, dan majikan dari martabat kita.

Bertahanlah.

Sunday, August 07, 2011

Komitmen


(06 Aug 2011)
Saya memiliki beberapa kenalan yang sangat sulit untuk membuat komitmen. Kesulitan berkomitmen itu bukan berarti bahwa ia tidak berkata “Iya”, atau “Setuju” , atau “Baiklah, deal” pada saat sebuah komitmen itu sedang, sudah, atau HARUS dibuat. Ketidak-komit-annya baru akan terlihat pada saat proses pelaksanaan komitmen itu berlangsung. Entah itu komitmen dalam hubungan pertemanan, percintaan, perkawinan, atau pekerjaan.
Setiap komitmen dibuat karena ia mengandung pilihan-pilihan serta kadar risiko tertentu yang harus siap dipertanggungjawabkan di penghujung cerita. Dulu, saat pacar kita meminta dijemput di sekolah pada jam 13.00, dan kita tak memiliki pilihan selain mengiyakan – meskipun setengah terpaksa – sesungguhnya kita telah membuat komitmen untuk melakukannya tepat waktu. Tak peduli panas diluar 35 derajat celcius, kemacetan jalan, hujan badai, atau ban bocor sekalipun, kita mesti tiba di halaman sekolah selambat-lambatnya jam 13.00, terlambat 5 menit saja berarti kita melanggar komitmen. Siap-siaplah menerima risiko ngambek, muka merengut, atau lebih parah lagi - diputusin.
Itu baru pacaran, sobat. Belum lagi ikatan perkawinan. Jelas makin banyak komitmen-komitmen yang harus dibuat, berbanding lurus dengan keharusan kita membuka luas-luas cakrawala toleransi yang kadang menakutkan – bahkan mengerikan bagi sebagian orang. Tidak banyak pilihan yang kita miliki pada level ini, just do it, atau berlarilah jauh-jauh dari ikatan pernikahan selagi bisa, sebelum kita menyakiti diri sendiri dan lebih-lebih menyakiti orang lain.
Dalam dunia pekerjaan, terutama yang berhubungan dengan pemenuhan target, komitmen yang dibuat biasanya bukan atas dasar kehendak merdeka dari pegawai pelaksana komitmen melainkan breakdown budget dari management. Tak heran jika sebetulnya tak ada pilihan lain selain menandatangani pernyataan kesanggupan, atau siap-siap terlempar dari persaingan dengan label yang melekat sebagai pecundang. Benarkah tidak ada pilihan lain? Eh, ternyata ada lho…. Just simple, jangan pilih jenis pekerjaan ini sejak awal. Sesederhana itu saja.
Akuilah, kebanyakan manusia membutuhkan tantangan dalam hidup karena menyukai dinamika-nya. David Owen, seorang jurnalis golf senior pernah berkata : “The guys who win, more often than not, are the guys who unafraid to lose”. Melihat fenomena permainan penuh risiko Tiger Woods, Phil Mickelson, atau Rory Mc Ilroy – pasti akan membuat kita membuat kesimpulan bahwa sebuah kemenangan lebih banyak tercipta oleh seberapa besar risiko yang berani diambil di setiap momentum. Woods, Mickelson, dan Mc Ilroy bukan safety player. Mereka tidak suka bermain aman untuk sekedar memukul par di setiap hole, melainkan mengambil keputusan-keputusan berisiko yang bisa membuat mereka berada di puncak dengan rangkaian pukulan birdie, eagle, putting yg terkesan mustahil agar berada di puncak scoring board , atau jatuh di dasar klasemen sekalian. Statistik kemudian membuktikan bahwa kegagalan jarang sekali menghampiri ketiganya. Kenapa? Ternyata ini adalah soal pemenuhan komitmen terhadap diri sendiri untuk menjadi pemenang. Komitmen adalah soal keberanian mengambil pilihan/ keputusan yang disandingkan dengan perhitungan, meski jika dikutak-katik, perhitungan itu kadang tidak masuk akal bagi kebanyakan orang.
Lalu, apakah salah jika ada orang yang sulit membuat komitmen? Tidak juga. Hanya saja, kemungkinannya untuk menjadi pemenang sangat tergantung pada keberuntungan kosmis semata. Secara logika, mohon maaf - menurut saya probabilitasnya adalah nol koma sekian persen. Siapkah kita?

Saturday, August 06, 2011

Winners, Losers, and the Survivors

(Morning Briefing 28 Juli 2011 – by Iqbal )

Anda tidak akan penah benar-benar kalah sampai saat anda berhenti mencoba untuk menang. Demikian kalimat yang diucapkan dan menjadi motto dari seorang mantan atasan saya. Entah ia mengutip dari mana, mungkin dari dialog film favoritnya, atau dari sebuah buku, atau bisa juga sebuah artikel di sebuah majalah yang dibacanya selama perjalanan udara. Entahlah, saya tidak terlalu tertarik untuk membicarakan sumbernya, saya hanya tahu kalimat itu tidak genuine dari pemikirannya – tidak, dia tak seorisinil itu.

Namun saya harus mengakui, bahwa kalimat motivasi itu mengandung level kebijakan tertentu yang berguna untuk mencerahkan kesadaran kita tentang betapa harusnya semua orang tidak pernah berhenti mencoba memperjuangkan setiap detik kehidupannya untuk menjadi seorang pemenang.

Saya kemudian berpikir, apakah sebuah kemenangan cukup? Apakah kemenangan demi kemenangan akan cukup? Bagaimana jika kita kalah? Apakah sebuah kekalahan tidak bisa diterima? Ataukah kekalahan demi kekalahan akan membuat jiwa pemenang kita tenggelam dan kemudian mati di lautan pecundang?

Sepanjang perjalanan pagi ini dari Banjarmasin ke Kuala Kapuas, saya menemukan percikan pemikiran, sebuah konsep genuine (menurut saya) tentang bagaimana kita mengklasifikasikan diri kita dalam kompetisi kehidupan.

Kita mestinya mengklasifikasikan manusia menjadi 3 (tiga) tipe :

  1. Winners, para pemenang
  2. Losers, para pecundang
  3. Survivors, orang-orang yang selamat

Winners, selalu haus akan kemenangan. Ungkapan Plato tentang homo homoni lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) sangat tepat untuk orang ini. Ia tak pernah mau kalah, tak mau berhenti berprestasi, selalu berusaha dengan usaha terbaik dan menginginkan hasil terbaik. Dan biasanya, hanya itulah yang ia dapatkan, menang dan menang.

Losers, tak pernah menginginkan kemenangan. Ia tak memiliki cukup kepercayaan kepada diri sendiri, tak percaya pada teman-teman satu tim, bahkan lebih celaka lagi, ia tak benar-benar percaya pada eksistensi KeTuhanan. Ia selalu menyalahkan orang lain atau kondisi alam atas segala kegagalan yang harus ia hadapi. Tipe manusia pecundang seperti ini, tak lain dan tak bukan – sepanjang ia tidak merubah mindset dan terus menerus memancarkan aura negatif, hanya akan menjadi parasit sepanjang hidupnya. Tak butuh orang pintar untuk tahu bahwa tipe seperti ini tidaklah bermanfaat untuk dibahas sekalipun.

Tipe ketiga adalah SURVIVORS, tipe orang yang selamat dari kondisi apapun. Di medan perang, ia mungkin tak menembak mati musuhnya – atau melakukan aksi heroik yang membuatnya dapat bintang jasa, tapi usai perang bisa pulang kerumah tanpa cacat fisik maupun mental. Saat mengalami kemenangan ia akan menikmatinya secukupnya karena sangat memahami bahwa kemenangan bukanlah sesuatu yang abadi. Saat mengalami kekalahan, ia akan berupaya untuk bangkit selekas mungkin dari keterpurukan – lagi-lagi karena ia sangat memahami bahwa kekalahan itu tidaklah permanen.

Saya tidak berharap kalian selalu menjadi Winners, saya sangat berharap kalian jadi Survivors! Survivors bisa bertahan dalam situasi seburuk apapun, ia tidak mabuk oleh kesenangan, dan tidak pernah larut dalam kesedihan atau kegagalan.

Saat membaca Memo Dinas terbaru tentang perubahan kebijakan suku bunga, reaksi otak saya mungkin sama seperti kalian para marketing : ”Busyet, parah nih .... gimana mau jualan?, gimana caranya capai target? ”.

Alih-alih larut dalam kekecewaan dan kekhawatiran, saya mengajak kalian semua untuk bangkit dan berdiri tegak, kemudian mengingatkan diri kita masing-masing bahwa kita semua adalah Survivors. Perubahan kadang tak menyenangkan, tapi jika itu harus terjadi maka buatlah diri kita dalam posisi senyaman mungkin sehingga kita tidak mati konyol dilindas oleh perubahan itu.

Mari melihat kedepan dengan pandangan lebih jernih, niscaya selalu ada kesempatan untuk menaklukkan keadaan

Saya yakin kita bisa, karena kita semua adalah para Survivors.

Serangan Fajar

(01 April 2011)
Saya mempercayai kekuatan strategi serangan fajar lebih dari apapun. Sejak jaman Renaissance, jaman Samurai dan para Shogun, jaman perang Gerilya melawan Belanda, sampai jaman peperangan politik dan ekonomi dimasa sekarang – yang namanya Serangan Fajar adalah cara paling efektif untuk menaklukkan, atau setidaknya menaikkan bargaining position bagi pelakunya.
Dalam banyak peristiwa, dimana saat seseorang atau sekelompok orang menghendaki kemenangan dalam kompetisi memperebutkan posisi puncak dalam organisasi, pada umumnya hasil akhir dari kompetisi tersebut bukan ditentukan oleh debat kusir dalam rapat paripurna, apalagi oleh besarnya dukungan konstituen sebelum kongres diselenggarakan. Hasil akhir selalu ditentukan oleh LOBBY yang laten dan berintensitas tinggi, penawaran bagus berstandar win-win, dan ditutup dengan SERANGAN FAJAR.
Prepare Make Perfect, demikian slogan team Toyota. Tahukah anda, persiapan timnas Malaysia untuk Asian Games dan Piala AFF 2010 memakan waktu 2 tahun? Jauh dibanding persiapan Timnas kita yang hanya 2 bulan. Lebih dari itu, alih-alih mengeksekusi persiapan singkat itu dengan glorious victory – timnas kita justru jadi korban ‘serangan fajar’ Parpol tertentu yang memanfaatkan mereka demi kepentingan golongannya.
Tahukah anda, meski tidak seluruhnya seperti itu, kebanyakan hasil pemilu di Indonesia sejak zaman Orde baru sampai Orde kebablasan saat ini – sering berakhir mengejutkan. Bukan berapa banyak jumlah baliho berukuran jumbo yang terpasang , bukan siapa artis bahenol yang di arak-arak saat kampanye, bukan seberapa hebat dan muluk program-program yang diutarakan oleh sang Kandidat – yang menjadi penentu kemenangan Pilpres, Pilgub, atau Pilkada Bupati/Walikota ternyata hanya sebuah bisikan lirih di pagi hari, merdu terdengar ditelinga, seharum aroma Nescafe dan Omelette bertabur jamur dan keju parmesan……. Sebuah bisikan yang ampuh mematikan karena selalu disertai dengan “tanda bukti”, entah sarung murahan, entah korek api bergambar wajah sang Kandidat, tak jarang dipertajam dengan amplop ala kadarnya.
Bisnis bank bukan bisnis politik, dan tentu saja kita bukan politisi (entahlah jika ada diantara kita yang terlanjur mempolitisir dirinya sendiri, berpartai-partai, berkubu-kubu, dan menyiapkan kehancuran karirnya sendiri) . Tetapi dengan situasi kompetisi di bidang jasa perbankan saat ini, rule of the game-nya sama saja , the winner takes it all. Menurut anda, jika anda menempatkan diri anda sebagai nasabah,…… di hari ulang tahun anda …. Entah itu bagi anda penting atau tidak…. Anda akan mengingat siapa saja yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada anda? Apakah orang yang pertama kali mengucapkannya saat anda bangun pagi sambil membawa sesuatu yang bisa anda nikmati sepanjang hari? Atau orang yang mengucapkan di siang dan sore hari disaat rutinitas dan pekerjaan menumpuk, ditambah anda sudah demikian bosan membalas sms, email, bbm dari semua orang yang besokpun anda sudah lupa? Saya yakin, anda lebih smart dari itu.
Work smart, think smart, serangan fajar itu perlu.
Have a great April for everyone.

Luka dan Bekasnya

(14 Maret 2011)
Sebuah luka, tetaplah sebuah luka meski ia telah mengering. Kadang dalam proses pengeringannya yang lama itupun kita tetap menyebutnya “luka”. Dan bekasnya akan tetap ada sampai kulit kita keriput menua, tetap menempel setia hingga jasad dimakan renik ketika ia harus bersatu dengan tanah…
Kuakui, entah karena telah begitu terlatih menahan rasa sakit. Atau hanya karena mati rasa saja, sesaat luka itu seakan tak ada. Meski ia benar-benar menganga, dan tak terhindari….padahal normalnya harusnya sakit luar biasa.
Demi menampik kenyataan ia memiliki bekas luka sebagian orang pergi ke dokter kulit, melakukan bedah plastik, atau sekedar mengolesinya dengan madu dan aneka krim penyamar noda…. Tapi pada hakikatnya, bekas luka itu sesungguhnya tetap ada, ia hanya hidden …. The pain is undercover!
Sebagian lagi tetap membiarkan luka itu mengering sendiri, dan akhirnya meninggaslkan codet besar di dahi, bagai bekas luka Harry Potter akibat kutukan Lord Voldemort. Mungkin ia ingin membuangnya tapi tak mampu, atau mungkin saja bahwa ia memang menyukai bekas luka itu karena kenangan mendapatkannya sungguh patut diingat.
Aneh bukan? Bahwa setiap bekas luka di tubuh dan terutama hati kita memiliki kisahnya sendiri. Ada yang disebabkan kecelakaan saja, tapi lebih banyak lagi biasanya hanya akibat kebodohan, kelalaian, dan ketidakmampuan belajar dari bekas luka sebelumnya.

Friday, August 05, 2011

In Peace or War

(15 MARET 2011)
Mataku berkabut dinihari ini, iseng-iseng duduk diberanda samping rumah seraya memetik gitar dengan pelan dan bernyanyi dalam hati :
Smile though your heart is aching, smile eventhough it’s breaking…… , imajinasiku melayang dari satu dimensi ke dimensi lain, menembus ruang, waktu, dan pemahaman.
Entah kenapa beberapa hari ini jadi begitu sentimentil buatku meski tak begitu yakin harus merasa seperti itu. Apakah karena merambatnya usia, apakah karena lelah menangisi waktu yang terbuang sia-sia, ataukah sekedar mengingatkan diri bahwa selama kita masih bernafas – selama itu pula kita selalu bergulat dengan pilihan-pilihan?
Dalam setiap interaksi dengan manusia, selalu ada situasi dimana kita merasa diuntungkan- dirugikan, menang- kalah, gembira dan sengsara. Tidak semua situasi dapat diantisipasi, terutama yang menyangkut soal hati. Terlalu banyak bukti bahwa setiap keping hati memiliki dimensi yang tidak segaris dengan kemampuan manusia untuk bersikap serupa. Hal seperti ini terlalu rumit untuk dimengerti.
Kita menjalani peperangan hidup dengan komando keinginan dan harapan. Agresivitas kita dalam mengejar keduanya akan menentukan arah perang, tentu saja ada proses melukai – dilukai, atau malah terbunuh di tengah-tengahnya. Apakah yang sebenarnya kita perebutkan? Apakah kebahagiaan? Bukankah kata Confucius , kebahagiaan itu semakin dikejar akan semakin jauh dari rengkuhan?
Dinihari merambat menuju fajar, petikan gitarku mulai tidak inline dengan lagu semestinya. Mungkin aku mulai kelelahan memikirkan pertempuran-pertempuran berikutnya. Teringat kata-kata almarhum ayahku dulu, tidak mengapa jika akhirnya harus kalah. Yang terpenting adalah siapa orang yang ada di sampingmu, yang bersedia bertempur, tertawa, dan menangis bersamamu , baik dalam perang atau masa damai.

It's Funny

(15 March 2011)

It’s funny

Saat tadi pagi aku terima telepon dari seseorang yang sungguh berarti di masa lalu

Bertahun-tahun bersama dan membagi suka duka, lalu akhirnya hanya ada suka baginya dan duka bagiku….

“Selamat ulang tahun” teriaknya dari seberang sana, terdengar excited

Tapi, it’s funny, aku tahu sesungguhnya ia tak se-excited itu, kenapa?

Karena setelah ucapan itu tak ada lagi statement berarti daripada sekedar basa-basi,

it’s over for us anyway… pikirku. I already close the door and won’t let it open again in this life. Hmm…

It’s funny

Ketika pagi-pagi teman2 di kantor ngumpul di hall dan bertepuk tangan saat kutiup lilin diatas cake coklat yang tampak mengundang gairah sekaligus paranoia-ku terhadap makanan manis berlumur coklat

Hampir tak kurasakan apapun terkecuali keinginan untuk segera mengakhiri pertemuan non formal itu…

Maafkan aku teman-teman, aku suka melakukannya untuk orang lain, tapi ternyata tak kunikmati untuk diriku sendiri…..

It’s funny

Ketika membuka FB, BBM, E-mail, dan SMS ada ratusan ucapan selamat dan doa yang terus menerjang seperti tsunami berbaur badai Katrina… dan aku, seperti biasa, merasa bertanggung jawab untuk membalasnya satu demi satu, tak memilah-milah, dan membuat kalimat-kalimat STD tanpa melibatkan hatiku dalam proses itu, betapa hambarnya – batinku, seperti roman murahan tak berjiwa, tanpa romantisme, sangat bukan diriku…

Its funny

Bahwa ternyata yang jadi serpihan terpenting sepanjang hari ini adalah dua buah surat bernada rada-rada lebay dari Jordy dan Jordan, kedua lelaki kecil yang kubesarkan tapi lebih sering kuperlakukan seperti teman, dengan segala keterbatasan mereka sebagai anak-anak , menulis surat singkat ini :

Jordy : For my lovely Dad – Happy Birthday my Dad, I hope you will be a nice and smart dad, and be nice to your wife, I love you.

Jordan : Selamat ulang tahun Papah, aku minta maaf kalau ada kesalahan. Aku harap Papah akan menjadi orang yang baik, dan pengetahuan papah bertambah. Terima kasih telah membesarkan aku menjadi anak yang pintar. Tanpa Papah aku merasakan dunia seperti neraka. Selamat Ulang Tahun dari anak papah – Jordan.

Andai kedua surat ini dari orang lain, sudah jelas aku kritik habis-habisan, karena selain mengandung harapan, seluruhnya merupakan kalimat asal bikin yang jika sekretarisku melakukan itu niscaya membuatku merasa harus minum antihistamin akibat alergi.

It’s funny, karena dari kedua surat itulah justru kurasakan romantisme, kasih sayang, dan ketulusan.

It’s funny.

For just a moment


(Mar 19, 2011)
Gerimis berderai-derai menampar kaca mobil sore ini saat kuinjak pedal gas dari Banjarmasin ke Kapuas, penuh keraguan mulanya kala memikirkan betapa akan membosankan sebuah acara semi seremonial yang akan kuhadiri, sepertinya tidur sore akan lebih nikmat (batinku), masalahnya dengan sangat sadar kuterima kenyataan bahwa mataku tak mungkin menerima jadwal istirahat sore yang memang tak punya sejarah dalam kebiasaan hidupku. Yahhh…. Sudahlah, mungkin ada kehendak kosmis yang lebih besar dari logika menanti disana.
Dengan gemas ku-eject CD George Benson yang selama 10 menit terakhir sudah dua kali memutar Nothing’s Gonna Change My Love for You secara auto repeat, pasti kerjaan Jordan si bungsu yang mendadak tergila-gila dengan lagu ini !!! Padahal ini lagu kenangan bokapnya zaman SMP dulu, hehehe… dasar anak modern berselera jadul, pikirku sambil geli sendiri. Tergesa kumasukkan CD The Magic of David Foster dan kutekan tombol random play. Display menunjukkan bahwa CD player membaca lagu no 6 – For Just a Moment , lalu pelan tapi pasti…. Terdengar suara sang Master Zen –David Foster Yang Agung :
We laugh ….until we had to cry
And we love …. right down to our last goodbye
We were the best, I think we'll ever be
Just you and me, for just a moment

Baru bait pertama, harus kulepas kacamataku yang berembun tiba-tiba. Sungguh gila… !!
Lagu berlanjut :
We chase that dream we never found
And sometimes we let one another down
But the love we made,
Made everything alright
We shone so bright
For just a moment

Kali ini terpaksa harus kuhentikan mobil sejenak, untuk mengambil tissue dan menghapus embun yang ternyata berasal dari….. mataku yang membasah tak terbendung.
Kuhela nafas dalam-dalam dan mencoba membayangkan hal-hal indah, lucu, dan menceriakan. Tak berhasil. Bermenit-menit kemudian yang terjadi malah aku merubah mode random play tadi ke auto repeat. Jadilah satu jam perjalanan di tengah rinai hujan itu konser tunggal David Foster dengan lagu tunggal pula : FOR JUST A MOMENT.
Sepanjang hidup sejauh yang kuingat, tak banyak moment dimana peristiwa ‘pengembunan’ mata seperti tadi kualami, banyak kisah sengsara – terlalu banyak malah- yang kujalani dimasa kecil hingga remaja dan dewasa tak mampu menyentuh sisi emosi terdalamku seperti ini. Bahkan tak dapat kumengerti secara pasti penyebabnya, kematian teman dekat hingga wafatnya ayahku sendiri tak membuatku meneteskan air mata.
Berfikir dan berfikir, hingga akhirnya buntu sendiri, kuinjak terus pedal gas dan tak pedulikan lagi ada apa hubungan syaraf emosiku dengan syair, melodi, dan harmoni lagu tadi. Beberapa ratus meter sebelum tiba di kantor, tiba-tiba pemahamanku terang benderang seperti wahyu Musa di bukit Tursina. Ternyata theme song ini sudah mengisi dasar jiwaku entah sejak kapan, terkandung cerita singkat hampir tak bermakna, tapi menoreh luka dalam yang jadi codet besar di pipi hatiku. OMG, batinku lagi.
Sudahlah…….
Sebelum kumatikan mesin di parkiran kantor, masih sempat kudengar refrain lagunya :
Time goes on,
People touch and they're gone
And you and I will never love again
Like we did then…..
Sudahlah…….. ternyata ini tak pernah benar-benar berakhir sampai sungguh-sungguh diakhiri, for just a moment.