Monday, December 05, 2011

PERSAHABATAN

Malam ini kembali kami ditinggal  oleh anak-anak yang menginap di tempat temannya, putra seorang dokter spesialis terkemuka yang tinggal di sebuah kompleks perumahan elite  ‘one gate society’ dengan sistem keamanan tingkat tinggi .  Anak saya keduanya lelaki, meski masih di usia pra-remaja, saya cukup maklum dengan jenis kegiatan inap-menginap seperti itu. Saya juga bisa memahami antusiasme mereka dengan ‘petualangan kecil-kecilan’ dimana mereka beraktivitas secara intens dalam dunia persahabatan antar anak seusianya. Saya bahkan cenderung menyukai munculnya kepercayaan dari batin saya bahwa mereka akan baik-baik saja. Disisi lain, saya dapat menerima perilaku bad mood dari ibu mereka selama 24 jam setelahnya yang 99% tidak rela anak-anaknya berada sejenak diluar supervisi-nya (padahal mungkin anak-anaknya sedang berteriak “Merdeka” dengan semangat 45, hehehe )
Dulu (duluuuuu sekali), ketika saya masih berumur 9-10 tahun.  Zaman dimana uang Rp 5 berlogo Keluarga Berencana masih bisa beli dua potong es Mambo, zaman kaleng Corned Beef bergambar kepala sapi merupakan barang langka di meja makan kami – hingga jika menjadikannya lauk hanya  untuk sekali makan saja membuat kami sekeluarga merasa berdosa. Zaman dimana kemiskinan tak pernah dikeluhkan karena pada dasarnya kami semua betul-betul miskin sehingga tak seorangpun bisa melakukan apa-apa selain bersyukur bahwa kami semua masih bernafas. Zaman dimana saya masih dapat mengingat dengan sangat jelas, bahwa persahabatan diantara anak-anak ala Tom Sawyer & Huckleberry Finn benar-benar ada di dunia nyata. Penuh imajinasi, petualangan, dan kemurnian ikatan batin yang sangat kental, bahkan kadangkala mengalahkan hubungan persaudaraan.
Pada setiap fase masa kanak-kanak, sejak balita kemudian usia sekolah, lalu mulai menginjak remaja, remaja dan kemudian menjadi dewasa, kita pasti menemukan berbagai jenis persahabatan. Tak akan bisa dipungkiri bahwa persahabatan di usia anak-anak sampai remaja adalah jenis persahabatan yang paling murni. Tanpa kepentingan, tanpa praduga, high enthusiasm, dan penuh ketulusan. Kita tak memilih latar belakang seseorang , apalagi sampai menerapkan pre-screening atau fit and proper test dalam menjalin persahabatan seperti itu. Menjalani menit demi menit kebersamaan tidak hanya berlandaskan kegembiraan , namun juga penuh toleransi dan solidaritas saat salah satu dari kita disakiti atau diganggu. Sahabat saya, Uwi dan Udi (kebetulan kakak-beradik) pernah membela saya berkelahi di lapangan bola saat seorang preman kecil bernama Asmaun mencoba memalak saya, sampai  si Asmaun terkaing-kaing masuk dalam got setelah dapat bogem mentah bertubi-tubi dari kedua sahabat masa kecil saya itu, padahal mereka – sama seperti saya, tak pandai berkelahi.
Persahabatan di usia remaja juga tak kalah mengasyikkan, kegemaran saya akan musik membawa saya dalam berbagai lingkungan musisi yang sebagian besar diantaranya  masih secara intens bermusik sampai hari ini. Musik pula-lah yang menyelamatkan saya dari ancaman putus kuliah, bahaya kelaparan, dan rasa frustasi karena kehidupan pra dewasa saya di tahun 90-an tak kunjung membaik. Persahabatan juga yang pelan-pelan menyadarkan dan membimbing saya keluar dari jerat kehidupan malam yang gemerlap, bergelimang uang dan kenikmatan sesaat, tapi penuh kepalsuan.
Saya percaya, sebuah persahabatan yang dirangkai dengan ketulusan, kejujuran, saling menghargai perbedaan, dan keikhlasan untuk selalu ada disaat sahabat kita sengsara – merupakan jenis persahabatan yang tak lekang oleh waktu.
Teruslah bersahabat dengan kehidupan, saya sangat percaya dengan kehebatan persahabatan.

Tulisan ini kudedikasikan untuk para sahabat terbaikku sepanjang zaman :
Uwi, Udi, Erdy Bob, Ambak, Upay, Utam, Yan Firman  , Pani, Isnani, Roni, Abdi, Ruwanto, Hai Shang, Alm. Agus Risman (Riris), Illiyin, Lukman, Amah (Rah Askobar), Hendra Mulia, Riza Dohong, Alm Benny, Oyan, Abang Gani, , Drg Harmadji., dan Benny Rony