Sunday, August 07, 2011

Komitmen


(06 Aug 2011)
Saya memiliki beberapa kenalan yang sangat sulit untuk membuat komitmen. Kesulitan berkomitmen itu bukan berarti bahwa ia tidak berkata “Iya”, atau “Setuju” , atau “Baiklah, deal” pada saat sebuah komitmen itu sedang, sudah, atau HARUS dibuat. Ketidak-komit-annya baru akan terlihat pada saat proses pelaksanaan komitmen itu berlangsung. Entah itu komitmen dalam hubungan pertemanan, percintaan, perkawinan, atau pekerjaan.
Setiap komitmen dibuat karena ia mengandung pilihan-pilihan serta kadar risiko tertentu yang harus siap dipertanggungjawabkan di penghujung cerita. Dulu, saat pacar kita meminta dijemput di sekolah pada jam 13.00, dan kita tak memiliki pilihan selain mengiyakan – meskipun setengah terpaksa – sesungguhnya kita telah membuat komitmen untuk melakukannya tepat waktu. Tak peduli panas diluar 35 derajat celcius, kemacetan jalan, hujan badai, atau ban bocor sekalipun, kita mesti tiba di halaman sekolah selambat-lambatnya jam 13.00, terlambat 5 menit saja berarti kita melanggar komitmen. Siap-siaplah menerima risiko ngambek, muka merengut, atau lebih parah lagi - diputusin.
Itu baru pacaran, sobat. Belum lagi ikatan perkawinan. Jelas makin banyak komitmen-komitmen yang harus dibuat, berbanding lurus dengan keharusan kita membuka luas-luas cakrawala toleransi yang kadang menakutkan – bahkan mengerikan bagi sebagian orang. Tidak banyak pilihan yang kita miliki pada level ini, just do it, atau berlarilah jauh-jauh dari ikatan pernikahan selagi bisa, sebelum kita menyakiti diri sendiri dan lebih-lebih menyakiti orang lain.
Dalam dunia pekerjaan, terutama yang berhubungan dengan pemenuhan target, komitmen yang dibuat biasanya bukan atas dasar kehendak merdeka dari pegawai pelaksana komitmen melainkan breakdown budget dari management. Tak heran jika sebetulnya tak ada pilihan lain selain menandatangani pernyataan kesanggupan, atau siap-siap terlempar dari persaingan dengan label yang melekat sebagai pecundang. Benarkah tidak ada pilihan lain? Eh, ternyata ada lho…. Just simple, jangan pilih jenis pekerjaan ini sejak awal. Sesederhana itu saja.
Akuilah, kebanyakan manusia membutuhkan tantangan dalam hidup karena menyukai dinamika-nya. David Owen, seorang jurnalis golf senior pernah berkata : “The guys who win, more often than not, are the guys who unafraid to lose”. Melihat fenomena permainan penuh risiko Tiger Woods, Phil Mickelson, atau Rory Mc Ilroy – pasti akan membuat kita membuat kesimpulan bahwa sebuah kemenangan lebih banyak tercipta oleh seberapa besar risiko yang berani diambil di setiap momentum. Woods, Mickelson, dan Mc Ilroy bukan safety player. Mereka tidak suka bermain aman untuk sekedar memukul par di setiap hole, melainkan mengambil keputusan-keputusan berisiko yang bisa membuat mereka berada di puncak dengan rangkaian pukulan birdie, eagle, putting yg terkesan mustahil agar berada di puncak scoring board , atau jatuh di dasar klasemen sekalian. Statistik kemudian membuktikan bahwa kegagalan jarang sekali menghampiri ketiganya. Kenapa? Ternyata ini adalah soal pemenuhan komitmen terhadap diri sendiri untuk menjadi pemenang. Komitmen adalah soal keberanian mengambil pilihan/ keputusan yang disandingkan dengan perhitungan, meski jika dikutak-katik, perhitungan itu kadang tidak masuk akal bagi kebanyakan orang.
Lalu, apakah salah jika ada orang yang sulit membuat komitmen? Tidak juga. Hanya saja, kemungkinannya untuk menjadi pemenang sangat tergantung pada keberuntungan kosmis semata. Secara logika, mohon maaf - menurut saya probabilitasnya adalah nol koma sekian persen. Siapkah kita?

No comments:

Post a Comment