Tuesday, May 08, 2012

Leader dan Benang Kusut


Anak lelaki tertua saya berumur 12 tahun. Sebagaimana anak seusianya, sering secara tiba-tiba mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengejutkan. Pertanyaan soal seks, pelajaran sekolah yang kita sudah lama lupakan (atau ingin dilupakan karena memang tidak kita sukai), dan lain-lain, bahkan seringkali pertanyaan itu sebenarnya bersifat konyol dan tak perlu dijawab.
Jauh sebelum saya jadi orangtua, baru dalam tahap membayangkan diri saya menjadi ayah, dulu saya sudah punya imajinasi, punya obsesi, dan punya ratusan andaikata tentang bagaimana menjadi dan bersikap sebagai orangtua - terutama bercermin dari apa yang orangtua kita lakukan.
Apa yang ingin saya lakukan jika anak saya bertanya adalah : saya akan mendengarkan, menyimak dengan sungguh-sungguh, berfikir dan mencari tahu jawaban yang sebaik mungkin, lalu menjawab tanpa memberikan kesan bahwa kitalah yang paling tahu. Jika anak saya punya masalah yang berada diluar jangkauan kemampuannya untuk diatasi, saya akan menjadi orang pertama yang memberikan alternatif advis terbaik, lalu memberikan support terhadap keputusan yang ia ambil, bahkan membantu meluruskan setiap ekses negatif yang mungkin saja terjadi jika masalahnya tak mampu ia handle.
Dalam opini saya, mestinya begitulah yang disebut orangtua yang baik.

Dalam dunia kerja, jauh-jauh hari waktu saya masih berada di level terbawah manajemen, saya mengamati bahwa setiap leader punya gaya tersendiri, their own leadership style, tetapi hampir selalu saya temui komponen bijak itu di setiap leader, yah... Mungkin ada  deviasi sekitar 5-10% karena faktor mood, namun tak pernah permanen.
Jauh-jauh hari pula waktu karir saya merangkak perlahan  dari Clerk, Officer, Asisten Manager, sampai jadi Manager, saya juga punya deskripsi dan obsesi tentang menjadi seorang pemimpin. Saya tak pernah membayangkan menjadi pemimpin yang kejam, bertangan dingin, berjiwa  kerdil, atau pemarah. Dalam bayangan saya, setidaknya saya ingin menjadi pemimpin yang baik (dalam ukuran saya tentunya) - bukan cuma jadi pemimpin yang terlihat baik. Saya sangat sadar, menjadi seorang leader itu berarti tanggung jawab besar terhadap siapa dan apa yang kita pimpin. Seorang pilot, sopir angkot, masinis, atau nakhoda tak mungkin memarahi penumpangnya jika pesawat, angkot, kereta-api, dan kapalnya mengalami trouble. Bahkan jika terjadi kerusakan akibat human error oleh mekanik-nya, ia juga tak akan memprioritaskan perasaan marahnya itu, karena fokusnya tentu bagaimana mengatasi kerusakan tersebut, lalu bagaimana soal sanksi thd mekanik yang menimbulkan trouble?  - itu pasti dan harus, tapi belakangan.

Tugas leader adalah menjadi 'guiding light' bagi tercapainya suatu tujuan, ia harus tetap menyala disaat semua lilin padam. Tugas leader adalah membuat kondisi 'everything gonna be  allright', mengurai benang kusut, menarik-mengulur-memotong dan menyambung beberapa bagian jika perlu, yang penting benangnya masih bisa dipakai untuk menjahit kain menjadi pakaian dan selesai sesuai tenggat waktu yang diberikan oleh pelanggan.

Dengarkan, simak, pikirkan dengan cermat, dan selesaikan masalahnya. Begitulah semestinya.
Kali ini saya  sedang tidak ingin bicara tentang berbagai teori leadership. Saya hanya merasa takjub  jika ada orangtua yang marah-marah jika anaknya bertanya atau minta tolong menyelesaikan masalahnya. Saya akan tahu persis , anak saya tak akan minta tolong jika ia mampu menjawab pertanyaan tersebut sendiri, atau menyelesaikan masalahnya sendiri.
Lebih mengherankan lagi, jika ada leader yang merespon negatif jika anakbuahnya minta tolong, atau bertanya bagaimana sebaiknya menangani masalah tertentu.

Tak perlu sekolah tinggi-tinggi, atau baca buku tentang leadership seabreg-abreg. Kesimpulannya, dari sisi apapun, leader seperti itu mungkin tidak pernah jadi orangtua, jadi anak-anak, atau jadi anak buah.
Sungguh buruk.